Tanggal 13 Oktober lalu, salah satu pentolan Kaskus, Ken Dean Lawadinata, mengumumkan secara resmi keluarnya dia dari portal komunitas online legendaris dari Indonesia tersebut. Ken Dean Lawadinata yang turut membesarkan Kaskus bersama Andrew Darwis selaku foundernya, menyatakan keluar per tanggal 12 Oktober 2016. Sementara, rekannya, Andrew Darwis, masih mempertahankan sedikit bagian dari saham sebagai “kenang-kenangan”. Sejak tanggal tersebut, praktis manajemen Kaskus secara langsung berada di bawah GDP Venture selaku investor.
Terlepas dari keheranan publik mengapa Lawadinata memutuskan untuk exit, ada satu pernyataan menarik yang dilontarkan alumni Seattle University ini dalam wawancaranya di media. Yakni perihal niatannya untuk “move on” dari bisnis di bidang teknologi. Padahal seperti yang diketahui, saat ini Ken Dean Lawadinata masih memiliki andil di dua startup miliknya, yakni Tororo dan Smartmama. Dalam pernyataannya, Ken Dean justru mengatakan lebih tertarik untuk investasi di bidang lain seperti tambang atau properti. Hal itu lantaran bisnis teknologi akhir-akhir ini dinilainya mulai mengkhawatirkan.
“Menurut saya, saat ini bisnis IT di Indonesia tengah berada dalam semacam bubble, karena semua orang membuat valuasi yang konyol tanpa tanda-tanda keuntungan dalam waktu dekat,” jelas Ken seperti dikutip dari laman TechinAsia. Bubble sendiri bukan merupakan sesuatu yang asing dan baru terjadi dalam bisnis startup di dunia. Tren yang demikian pernah menimpa startup di Silicon Valley dan meledak pada medium 1999an. Selain itu, yang terbaru isu startup bubble juga dialami oleh India yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang getol-getolnya membangun startup.
Valuasi berlebihan dan cash flow yang masih menjadi misteri
Banyak orang memutuskan untuk membangun startup lantaran gaung akan kesuksesan pendahulunya benar-benar menawarkan sesuatu yang wah. Katakanlah seperti Gojek, Tokopedia, ataupun BukaLapak, yang digadang-gadang sebagai icon sukses startup lokal di Indonesia. Tetapi, terkait isu mengenai startup bubble yang mulai nampak di Indonesia, sepertinya kita harus mulai jeli. Terutama dalam hal valuasi terhadap startup-startup yang baru dibangun itu sendiri.
Valuasi dalam startup ditentukan oleh beberapa hal, seperti traksi, reputasi tim yang menjadi founder, jangkauan distribusi, revenue, hingga sektor lain seperti kondisi keamanan negara maupun perpolitikan. Beberapa valuasi startup ditentukan oleh investor yang menyuntikkan dana ke dalamnya. Namun, tak sedikit pula founder yang menentukan valuasi dalam startupnya sendiri.
Sebagai contoh sukses startup di Indonesia, Tokopedia barangkali bisa disebut sebagai startup dengan valuasi yang luar biasa. Hingga pertengahan tahun 2016, jika dihitung, besarnya kucuran dana investor yang diberikan pada Tokopedia mencapai 3 triliun rupiah. Jika jumlah ini dikonversikan ke dalam 50% saham, berarti valuasi total Tokopedia bisa mencapai 6 triliun rupiah. Jumlah yang sangat besar untuk sebuah startup yang bisa dibilang masih sangat muda.
Tak berbeda jauh dengan saingannya, BukaLapak juga menerima kucuran dana segar untuk membesarkan bisnisnya. Dari Grup EMTEK saja BukaLapak sudah mendapatkan kucuran dana lebih dari Rp 400 miliar. Meski valuasinya sedikit di bawah Tokopedia, jumlah keduanya bisa dibilang fantastis. Dengan nilai investasi yang begitu besar, hanya Gojek yang secara resmi dan terbuka sudah dinyatakan sebagai unicorn, alias startup dengan valuasi minimal $ 1 miliar (sekitar 13 triliun rupiah).
Sayangnya, valuasi yang setinggi itu memang hanya bernilai nominal di atas kertas. Bukan berwujud cash yang bisa digunakan secara langsung untuk membesarkan perusahaan. Kenyataannya, sampai sekarang cash flow dalam ketiga startup tersebut masih menjadi misteri. BukaLapak contohnya, laporan keuangan EMTEK tahun 2015 menyatakan bahwa marketplace besutan Zaky ini masih “bakar duit” hingga 200 miliar lebih dengan pemasukan hanya belasan miliar. Padahal bisa dikatakan cash flow merupakan salah satu tolok ukur “kesehatan” dalam sebuah bisnis, tak hanya di startup.
Meskipun memang beberapa pendapat mengatakan bahwa perbedaan utama dari bisnis tradisional dan startup adalah pada fokusnya. Yakni lebih kepada bagaimana membesarkan perusahaan dan mengakuisisi user sebanyak-banyaknya tanpa fokus pada perolehan profit terlebih dahulu. Namun, ketika wacana mengenai startup bubble mulai menghampiri bisnis IT di Indonesia, sebagai pelaku bisnis kita tetap patut waspada. Menjadi PR besar untuk semua pelaku bisnis startup bahwa tujuan utama membuat startup bukan untuk sekadar dijual, tetapi bagaimana agar bisnis itu tetap berkelanjutan. Berlebihan pada valuasi namun profitnya entah kapan tentu harus membuat kita berpikir dua kali untuk terus-terusan “bermimpi besar” mengenai masa depan ekonomi digital yang akan terus tumbuh di Indonesia.