Sebagai orang yang berkecimpung di dunia startup, tentunya Anda sudah tidak asing dengan istilah A/B Testing. A/B Testing atau juga sering disebut sebagai split testing merupakan suatu metode yang dipakai oleh developer atau marketer untuk menguji performa suatu website atau campaign dengan membandingkan antara dua pengujian variasi. A/B Testing bisa dikatakan sebagai bentuk modern dari studi eksperimen terkontrol, di mana penguji membandingkan dua kondisi dengan variabel yang dikontrol. Contoh sederhananya misalnya peneliti yang ingin membandingkan suatu obat baru dengan obat lama. Kemudian, ia membandingkan performa antara obat yang lama dengan formula baru yang ia ciptakan melalui pengujian eksperimen.
Dengan model yang hampir sama, A/B Testing dikembangkan dan kemudian banyak digunakan dalam kerja-kerja di industri teknologi. Hanya saja sedikit berbeda dengan pengujian laboratorium di mana kita bisa mengontrol variabel dengan penuh, A/B Testing sepenuhnya bergantung pada traffic dan aktivitas user terhadap produk yang kita berikan. Ketika trend startup semakin populer belakangan ini, A/B Testing juga menjadi salah satu hal penting yang banyak dilakukan oleh para founder di startup untuk menguji produk yang dikembangkannya.
Memahami cara kerja A/B Testing
Untuk memahami cara kerja A/B Testing, Anda bisa memperhatikan ilustrasi berikut ini. Sebuah campaign didesain dengan sebuah landing page yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengujian utama dalam split test ini. Variasi yang dipakai adalah perbedaan warna headline. Untuk A/B testing sederhana ini, kita ingin mengetahui seberapa baik performance yang didapat dari masing-masing variasi dengan metric yang dipakai adalah conversion rate yang diperoleh dari tiap-tiap variasi.
Dengan menggunakan A/B Testing, traffic yang diperoleh website tersebut akhirnya dibagi menjadi dua sebanyak 50% dan 50%. Kemudian, dari traffic tersebut, diperoleh data mengenai berapa conversion yang diperoleh hingga akhirnya memperoleh conversion rate untuk tiap-tiap sampel. Katakanlah dengan variasi A diperoleh conversion rate hingga 18% sementara untuk variasi B hanya 15%. Akhirnya, dari data tersebut, kita akan mengetahui mana model yang paling ideal untuk dipakai dan model itulah yang nantinya akan terus dikembangkan sehingga memperoleh hasil yang maksimal untuk sebuah produk.
Variasi yang bisa diuji dalam A/B Testing ini pun beragam, dari mulai perbedaan headline, warna pada call-to-action sebuah campaign, hingga tata letak. Intinya, A/B Testing memungkinkan kita untuk mengetahui perbandingan respons dari user mengenai suatu produk yang kita tawarkan melalui pengujian sederhana dan cara-cara yang praktis. Dengan mengetahui mana produk yang memiliki performa terbaik, selanjutkan kita bisa melakukan improvisasi serta mengeliminasi berbagai fitur yang tidak bekerja secara efektif.
Menggunakan A/B Testing untuk startup
Penggunaan A/B Testing populer dalam industri skala kecil seperti startup karena dinilai lebih efektif dan mampu mendapatkan gambaran mengenai user need yang sesungguhnya. Seperti yang kita tahu, startup umumnya menciptakan suatu inovasi yang belum banyak digarap oleh industri mainstream, sehingga dalam pendekatannya ke user pun, diperlukan berbagai cara agar benar-benar paham apa yang sebenarnya mereka inginkan.
Menggunakan A/B Testing merupakan salah satu cara yang paling praktis dan efektif. Sebab, tanpa memerlukan banyak effort, kita dapat mengetahui bagaimana performa yang didapatkan oleh dua buah produk yang sama-sama kita tawarkan pada user. Selain itu, A/B Testing juga memungkinkan kita untuk mengenali user lebih dalam dan membentuk persona untuk tujuan-tujuan lain yang lebih jauh.