PT Uber Teknologi Indonesia meluncurkan layanan barunya, UberPOOL pada 9 Mei 2016 lalu. Sejatinya inilah yang baru benar-benar bisa disebut ridesharing, walaupun Uber bukanlah pemain pertama ridesharing berbasis aplikasi atau website di Indonesia. Pemain lain justru ada yang sudah lebih 10 tahun beroperasi, hanya saja belum menggunakan teknologi secanggih Uber.
Ridesharing
Selama ini Uber sering disebut sebagai aplikasi ridesharing oleh berbagai media, padahal itu tidak tepat. Saat seseorang menggunakan jasa UberX atau UberBlack, tidak ada konsep “sharing” (berbagi) di situ. Ini hanya sesederhana menyewa angkutan transportasi. Untungnya beberapa media menyadari kesalahan penggunaan istilah ini dan akhirnya memutuskan menggunakan istilah “Ride Hailing” untuk bisnis seperti Uber, Grab, dan Lyft -yang bisnis utamanya bukan ridesharing.
Ridesharing sendiri menurut saya masih bisa dibagi 2:
- “Berbagi Tumpangan“: Beberapa penumpang yang mempunyai rute perjalanan yang sama atau mirip bergabung dalam satu angkutan, lalu berbagi biaya transportasi.
- “Berbagi Tebengan“: Pengemudi yang ingin pergi ke tujuan tertentu mempersilahkan orang lain yang memiliki rute perjalanan yang mirip untuk menempati kursi kosong di kendaraannya dan ikut dalam perjalanannya.
Sekilas kedua kedua konsep ini terlihat mirip, karena intinya sama-sama berbagi kendaraan untuk mencapai tujuan. Perbedaannya yang satu diinisiasi oleh penumpang, yang satu lagi diinisiasi oleh pengendara.
Berbagi Tumpangan
Layanan UberPOOL adalah jenis yang masuk kategori ini. UberPOOL bukan yang pertama sebenarnya, pada 10 Maret 2015 lalu, Ompreng.com sudah meluncurkan layanan O-Shuttle. Tetapi layanan ini sekarang sedang tidak tersedia di situsnya. Jadi praktis untuk saat ini di Indonesia UberPOOL melenggang sendirian.
Berbagi Tebengan
Nah berbeda dengan berbagi tumpangan berbasis aplikasi yang sepi pemain, berbagi tebengan berbasis aplikasi (termasuk website) cukup ramai di Indonesia. Sebagian memang berawal dari komunitas tetapi sebagian lagi sepertinya lebih berorientasi bisnis dari awal.
Ini merupakan layanan ridesharing berbasis aplikasi/website tertua di Indonesia. Diluncurkan pada 28 September 2005 oleh Rudyanto Linggar. Ada beberapa situs lain yang berafiliasi dengan Nebeng.com, mereka adalah Kombeng.com (komunitas nebeng) dan Nebeng.info. Tidak jelas mengapa mereka tidak menggabungkan saja ketiga website ini menjadi satu.
Melihat tampilan situs dan kode websitenya, sepertinya teknologi Nebeng.com jauh ketinggalan dibanding tren teknologi website saat ini. Agak mengejutkan memang, mengingat Nebeng.com dikelola oleh CV Mitra Utama Niaga -penyedia jasa solusi IT.
Nebeng.com juga menyediakan aplikasi Android untuk mempermudah mereka yang mau saling berbagi tebengan, namanya UBindEM72. Aplikasi ini terakhir diperbarui pada April 2014. Sayangnya aplikasi ini harus diunduh langsung di situsnya, karena tidak tersedia di Google PlayStore.
Halaman situs Nebeng.com dan afiliasinya selalu memberi catatan “Ingat, Nebeng.com TIDAK MEMILIKI akun Twitter” 😉
Didirikan pada 3 Oktober 2015 oleh Ary Setiyono -akun Linkedinnya mencatat ia masih bekerja sebagai Account Manager di ZTE saat ini walaupun informasi yang diterima LABANA Ary saat ini sudah mengurusi Ompreng penuh waktu.
Ada 3 layanan yang disediakan Ompreng.com. Ketiga pilihan ini dibedakan berdasarkan moda transporatasi yang digunakan. O-Car: menggunakan kendaraan berjenis mobil, O-Bike: menggunakan sepeda motor, dan O-Shuttle (sekarang tidak aktif). Selain lewat website, Ompreng juga bisa diakses dari aplikasi mobilenya.
Didirikan oleh Fauzan Helmi Sudaryanto (CEO) dan Rasmunandar Rustam (CTO). Beberapa nama yang populer di kalangan pekerja digital juga ikut memperkuat tim TemanJalan. Ada Narenda Wicaksono (CEO Dicoding -ex Nokia dan Microsoft) yang menjabat sebagai Business Development. Lalu ada Federal Marcos (founder Liputan 9 -berita parodi) yang menjabat sebagai Digital Marketing.
Agak berbeda dengan pemain lainnya, TemanJalan fokus pada segmen mahasiswa. Bisa jadi ini memang tahap awalnya saja, seperti Facebook yang awalnya hanya dibuka untuk mahasiswa kampus Ivy League.
Didirikan oleh Andreas Aditya bersama istrinya dan Putri Sentanu. Awalnya hanya berupa akun Twitter (itu sebabnya mungkin Nebeng.com memberi catatan tidak memiliki akun Twitter, mengingat nama mereka yang mirip). Belakangan Nebengers berkembang menjadi lebih serius. Dibantu oleh Suitmedia, Nebengers sudah memiliki aplikasi mobile sejak Desember 2013. Tapi entah mengapa situs Nebengers justru tidak memberikan tautan ke aplikasi mobilenya. Padahal justru di sini kelebihannya. (Update: Sudah ditambahkan oleh Nebengers)
Andreas sendiri mengatakan pada LABANA jika mereka sedang mencari investor untuk bisa terus mengembangkan Nebengers menjadi lebih besar. Andreas sedang dalam tahap penjajakan dengan beberapa investor.
Dari cerita Andreas, terungkap jika Suitmedia juga memiliki saham di Nebengers. Suitmedia adalah perusahaan konsultan pemasaran digital yang 50% sahamnya dimiliki oleh EMTEK. (EMTEK juga pemilik 49% saham Bukalapak). Tetapi EMTEK ternyata belum berminat untuk berinvestasi langsung ke Nebengers.
“EMTEK kan larinya ke advertising, jadi untuk model car sharing begini, mereka belum ada minat.”
~ujar Andreas Aditya kepada LABANA
Saya pernah menggunakan Nebengers dari Bandung ke Jakarta. Pengalaman saya cukup memuaskan. Berkomunikasi dengan pemberi tebengan bisa langsung dilakukan di dalam aplikasi, jadi pemberi tebengan tidak perlu memajang nomor teleponnya.
Selain komunikasi yang mudah, biayanya juga sangat terjangkau, pengemudinya ramah, plus beberapa penumpang lainnya juga “cukup gila”, membuat perjalanan sekitar 3 jam terasa menjadi ceria. Tetapi tentu saja masih ada beberapa kekurangan di aplikasinya. Salah satunya adalah fitur untuk mencari rute di luar rute yang populer.
Mengenai rencananya ke depan, Andreas menyatakan bahwa Nebengers kini sudah memantapkan diri untuk menjadi platform berbagi tebengan yang fokus pada perjalanan antar kota.
Jika pemain besar lain tidak masuk ke niche ini, bisa jadi Nebengers akan menjadi pemenang di pasar niche ini. Itu dengan catatan jika pasar niche ini memang cukup besar untuk bisa bertahan sebagai bisnis jangka panjang.
Bersaing dengan Pemain Besar
UberPOOL tentu saja bukan pesaing langsung Nebengers, TemanJalan, Nebeng dan Ompreng. Tetapi bukan berarti tidak ada pemain besar yang masuk ke kategori ini di Indonesia. Grab juga masuk ke segmen ini. Mereka sudah meluncurkan layanan “Berbagi Tebengan” yang bernaman Grab Hitch di Singapura. Tak lama lagi layanan ini juga akan hadir di Indonesia. Saat ini Grab sudah membuka pendaftaran bagi pemberi tebengan di Indonesia di laman situsnya.
Grab Hitch tentunya sadar sudah ada pemain lokal yang sudah lebih dahulu hadir. Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata terang-terangan menyebut Nebengers saat berbicara pada acara Echelon Jakarta 2016 lalu. Bukti lainnya, Grab pun secara terangan-terangan melakukan suvery kepada para pemberi tebengan di Nebengers. Satu per satu mereka dihubungi oleh Grab untuk mendapat masukan.
Kenapa Grab tidak mengakuisisi pemain lokal yang sudah ada? Menurut saya karena ujung-ujungnya teknologi yang digunakan para pemain lokal saat ini tidak akan dipakai. Grab sudah memiliki teknologinya. Nilai jual satu-satunya para pemain lokal di mata Grab mungkin hanyalah basis penggunanya. Jika Grab memutuskan untuk mengakuisisi pemain lokal dengan alasan tersebut, kemungkinan besdar Nebeng.com lah yang menjadi kandidat terkuat, mengingat mereka sudah beroperasi lebih dari 10 tahun.
Dengan dukungan dana Grab yang tidak sedikit dan teknologi yang (setidaknya untuk saat ini) jauh lebih canggih daripada pemain lokal sejenis, tentu saja para pemain lokal ini harus waspada. Kecuali jika para pemain lokal ini lebih beriorientasi sosial ketimbang bisnis.
Jika Grab sudah jelas beorientasi bisnis, beberapa pemain lokal justru sepertinya masih malu-malu untuk menjadi bisnis. Ini terlihat dari aktifitas pemasaran mereka yang tidak begitu terlihat. Beberapa pendirinya pun masih menjalakannya sebagai pekerjaan sampingan ketimbang pekerjaan utama.
Secara umum, untuk membawa bisnis “Berbagi Tebengan” berbasis aplikasi ini bisa bersaing dengan pemain besar, ada beberapa tantangan utama yang harus segera dibereskan para pemain lokal ini menurut saya:
- Kepercayaan. Baik bagi pemberi tebengan maupun penumpang. Komunitas yang kuat bisa jadi membantu hal ini. Nebeng.com terlihat cukup fokus mengelola komunitasnya dengan baik. Tetapi menggabungkan komunitas dan bisnis tidak selalu berjalan mulus. Reddit vs Digg sudah menjadi contoh.
- Regulasi. Peraturan Menteri Perhubungan No.32 tahun 2016 Pasal 1 ayat 2 dan 3 bisa jadi membuat aplikasi “Berbagi Tebengan” ini turut diatur dengan peraturan yang sama yang kini mengikat Uber, Go-Car dan Grab-Car. Karena dengan peraturan tersebut pemberi tebengan bisa jadi dikategorikan sebagai “Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek”. Bukan tidak mungkin para pengemudi nantinya malah sibuk berurusan dengan aparat.
- Teknologi. Ini memang PR besar. Go-Jek saja memilih menggunakan pengembang di India ketimbang “anak bangsa” untuk mengembangkan teknologinya. Jika pemain lokal ini ingin mengikuti jejak Go-Jek, mereka harus mempunyai kocek yang tebal, sangat tebal lebih tepatnya.
- Pemasaran. Menjelaskan konsep “Berbagi Tebengan” ini cukup menjadi pekerjaan rumah sendiri. Media selama ini sudah terlanjur menyebut Uber, Grab dan Lyft sebagai aplikasi “ridesharing”, sehingga ketika dilakukan pemasaran dengan kata “ridesharing” kemungkinan besar reaksi orang-orang adalah “Oooh.., another Uber.” Padahal ridesharing yang dimaksud adalah berbagi tumbangan dan berbagi tebengan.
- Privasi. Salah satu isu penting kepercayaan adalah masalah validitas penumpang maupun pemberi tebengan. Ini biasanya dilakukan dengan meminta banyak informasi detail seseorang. Seberapa banyak dari informasi ini yang bisa dilihat orang lain? Bagaimana mencegah informasi ini tidak digunakan untuk tindakan yang tidak disetujui oleh pemilik identitas?
Potensi Berbeda di Tiap Wilayah
“Berbagi Tebengan” berbasis aplikasi/website juga marak di luar negri. Di Jerman ada Carpooling.com. Situs ini awalnya didirikan sebagai proyek 3 orang mahasiswa pada tahun 2001. Belakangan berkembang serius dan ketiga pendirinya bekerja penuh waktu di sini.
Pada tahun 2015 akhirnya Carpooling diakuisisi oleh BlaBlaCar.com -pemain sejenis yang berasal dari Perancis. BlaBlaCar ini sangat besar, pada September 2015 lalu valuasinya sudah mencapai $ 1,6 miliar. Valuasinya ini resmi mencatatkan BlaBlaCar sebagai unicorn dari Perancis.
Selain Carpooling/BlaBlaCar masih ada Carma dengan CarmaPoolingnya. Ada juga Scoop, dan Hovee. Di Amerika tadinya juga ada Zimride dan RideJoy. Zimride (cikal-bakal Lyft -pesaing Uber di AS) akhirnya dijual ke sebuah perusahaan enterprise dan pendirinya fokus mengembangkan Lyft. RideJoy sekarang sudah tutup.
Di India ada juga layanan sejenis, namanya Letsride.in. Layanan ini didirikan oleh Rajkumar Mundel , Praveen Mane dan Averi Pal Choudhuri. Rajkumar dan Praveen merupakan teman satu almamater dari Army Institute of Technology College, Pune, India.
Di Malaysia juga Karpool. Layanan ini kabarnya juga akan segera masuk ke Indonesia.
Google pun tidak kalah ketinggalan memasuki segmen ini. Mereka juga meluncurkan RideWith pada pertengahan tahun 2015 lalu. RideWith tersedia melalui aplikasi Waze -yang juga dimiliki Google. Namun RideWith sewaktu diluncurkan hanya tersedia di Israel (tempat Waze dikembangkan pertama kali). Tentu saja ini karena masih tahap eksperimen. Jika percobaan ini sukses sangat mungkin Google akan membawanya ke AS dan negara-negara lainnya.
Terlepas dari BlaBlaCar yang akhirnya menjadi unicorn, ternyata kisah serupa tidak (belum?) terjadi di AS. RideJoy akhirnya tutup dan Zimride dijual ke perusahaan lain.
RideJoy sewaktu tutup menyatakan jika model “Berbagi Tebengan” ini memang sukses di Eropa, tetapi ternyata tidak demikian di AS. Di AS orang-orang lebih suka membawa mobilnya sendirian daripada harus berbagi tebengan dengan orang yang tidak dikenal. Biaya penggunaan kendaraan pribadi di Eropa (termasuk tol, parkir, dll) sangat mahal mendorong orang-orang di Eropa cenderung untuk berbagi tebengan. Situasi serupa tidak terjadi di AS.
Senada dengan pernyataan RideJoy, American Association of State Highway and Transportation Officials mengeluarkan hasil riset yang menyatakan hal serupa. Tren carpooling semakin tahun semakin menurun di AS. Riset dari Deloitte memang mengungkapkan bahwa tren ridesharing/carpooling bisa berkembang pesat, dengan catatan jika dukungan infrastruktur dan pemerintah cukup kuat. Suatu hal yang agak sulit diharapkan walaupun banyak nilai positif dari berbagi tebengan.
Ini tentunya perlu menjadi catatan juga untuk pemain lokal. Karena ternyata antusiasme tiap negara berbeda untuk konsep “Berbagi Tebengan” ini. Bisa jadi konsep berbagi tebengan ini mampu menarik sebagian orang, tetapi jumlahnya tidak bisa tumbuh cukup besar hingga layak menjadi bisnis yang bisa diseriusi untuk jangka panjang.
Tetapi, jikapun ternyata konsep berbagi tebengan untuk umum ini ternyata tidak disambut dengan sangat antusias di Indonesia, sebenarnya masih ada opsi lain. Mereka bisa merubah layanannya untuk fokus kepada enterprise (B2). Zimride dan Scoop memilih opsi ini.
Zimride dan Scoop menyediakan layanan bagi organisasi (perusahaan, kampus, dll) yang ingin menerapkan konsep berbagi tebengan bagi karyawan atau mahasiswa mereka yang tinggal saling berdekatan.
Catatan: Walaupun John Zimmer dan Logan Green tadinya menjual Zimride dan fokus mengembangkan Lyft yang model bisnisnya serupa dengan Uber, belakangan Zimmer dan Green akhirnya meluncurkan kembali layanan serupa Zimride, namanya Lyft-Line.
Peluang Kerjasama
Uber dan Go-Jek tidaklah bersaing secara langsung dengan para pemain lokal. Oleh sebab itu sebenarnya mereka juga bisa bekerja sama. Misal, Nebengers fokus untuk Berbagi Tebengan antar kota (misal Bandung-Jakarta). Nanti ketika sampai di Jakarta, penumpangnya bisa melanjutkan perjalanan dengan Go-Jek atau Uber, alangkah mudahnya jika semuanya ini bisa dilakukan dengan satu aplikasi. Ide seperti tentu saja bukan mustahil. Di Eropa, Carpooling sudah melakukan kerjasama serupa dengan Uber.
Satu hal yang pasti, semua layanan ini (baik di Indonesia maupun di luar negeri) sama-sama mengkampanyekan nilai positif ridesharing. Mulai dari mengurangi polusi udara, mengurangi kemacetan, hingga misi sosial. Mari kita lihat seperti apa nanti kenyataannya di Indonesia.