Anda tentu sudah pernah membaca tentang pemblokiran Telegram di Indonesia, yang tujuannya adalah mencegah penyebaran rencana dan aktivitas teror di negara ini. Telegram memang diketahui sering digunakan oleh para ekstremis untuk saling berkomunikasi dalam merencanakan aksi-aksi teror.
Namun benarkah tujuannya hanya itu? Menurut analisis Nava Nuraniyah, analis di Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta, pemblokiran Telegram terlihat lebih bertujuan agar para developer yang ada di baliknya suatu aplikasi populer mau menuruti permintaan Pemerintah Indonesia. Strategi pemerintah Indonesia ini terbukti berhasil membujuk Yahoo, Facebook, dan Google, untuk kantor di Indonesia dan menuruti segala syarat pemerintah.
Pada tanggal 14 Juli, pemerintah Indonesia mengumumkan pemblokiran layanan pesan Telegram dalam versi web.
Pemblokiran aplikasi pesan singkat yang sudah punya jutaan pengguna di Indonesia tersebut dinilai merupakan strategi jitu untuk memotivasi perusahaan teknologi untuk memenuhi persyaratan dan permintaan pemerintah Indonesia.
Sebaliknya, menurut beberapa pengamat, strategi itu tak begitu mempan untuk membatasi aktivitas terorisme. Para ekstremis bisa dengan mudah mencari platform lainnya, atau menggunakan sarana lain. Dalam hal ini, yang paling kena imbasnya adalah perusahaan teknologi terkait.
Lalu mengapa Telegram dianggap ideal sebagai media komunikasi antar ekstremis? Mereka memiliki teknologi enkripsi pesan, sehingga pesan-pesan yang dikirim tidak mungkin diretas. Teknologi enkripsi pesan ini baru diterapkan oleh WhatsApp pada 2016 lalu.
Telegram juga dikenal sebagai platform yang sangat menjunjung tinggi privasi. Pendirinya, Pavel Durov, pernah menolak pemerintah Rusia ketika mereka meminta rincian informasi sehubungan dengan para aktivis oposisi.
Tercatat tahun setelah para simpatisan ISIS “ramai-ramai” menggunakan Telegram yang terenkripsi ini, pemerintah Indonesia melalui Menkominfo mengumumkan pemblokiran Telegram dalam versi web. Pemerintah juga mengancam akan memblokir aplikasi yang ada di ponsel, jika Telegram tidak memenuhi keinginan pemerintah untuk mendepak kelompok atau pengguna yang dianggap radikal dari aplikasinya.
Menkominfo mengatakan bahwa Telegram “berpotensi membahayakan keamanan nasional,” mengingat “jumlah kanal yang mengandung propagaganda radikal, ekstrimisme, ujaran kebencian, serta hasutan dan petunjuk pembuatan bom.”
Namun penelitian terhadap puluhan kelompok pro-ISIS yang ada di Telegram sejak tahun 2015 menunjukkan bahwa kebanyakan percakapan mereka lebih bersifat obrolan ringan dan sekedar bersosialisasi daripada merencanakan teror. Kalau mereka ingin melakukan perencanaan teror, mereka lebih memilih bertemu secara langsung untuk alasan keamanan.
Kepolisian Indonesia menyebutkan bahwa tiga rencana terorisme pada tahun 2016-2017 yang diduga berasal dari Bahrun Naim—tokoh sentral dari kelompok pro-ISIS di Indonesia—dilakukan melalui Telegram.
Nyatanya, perencanaan seperti itu jarang terjadi—pemimpin-pemipin dari mayoritas kelompok militan sudah memanfaatkan berbagai macam media online untuk menyampaikan ujaran, dorongan, dan petunjuk. Mereka juga tak butuh Telegram untuk mendapatkan tutorial membuat bom—yang bisa dengan mudah dicari di Google.
Pemerintah, menurut Nava, seharusnya belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa menutup akses terhadap situs web radikal tidaklah efektif, mengingat situsnya sendiri masih bisa diakses melalui proxy browser.
Pemerintah diketahui pernah memblokir 22 situs radikal pada tahun 2015, tapi akhirnya membukanya kembali, karena kelompok-kelompok Islam melakukan protes keras (karena mereka adalah kelompok-kelompok yang sangat konservatif, bukan ekstremis). Jika demikian, kenapa harus memblokir aplikasi Telegram versi web?
Pemblokiran ini sepertinya lebih ditujukan lebih kepada perusahaan teknologi Telegram dibandingkan kepada pengguna yang melakukan pelanggaran. Hal ini pernah terjadi sebelumnya, beberapa kali.
Indonesia sebelumnya pernah mengancam akan memblokir Google, agar perusahaan teknologi tersebut mau memenuhi peraturan di Indonesia terkait perpajakan dan “membuka kantor secara permanen di Indonesia.” Terbukti cara tersebut berhasil, dan sepertinya pemerintah ingin menggunakan taktik yang sama pada Telegram, yang sepertinya akan berhasil juga. Saat ini, pendiri Telegram sedang bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia.
Pada 17 Juli lalu, tiga hari setelah pemblokiran Telegram, CEO Pavel Durov secara luas mengakui kesalahannya karena tidak memenuhi permintaan Indonesia untuk memblokir beberapa kanal radikal. Kini dia berjanji untuk bekerja sama, termasuk membangun “saluran komunikasi langsung” dengan pemerintah. Tapi nampaknya pemerintah Indonesia menginginka lebih.
Pemerintah telah menetapkan syarat baru untuk supaya pemblokiran bisa dicabut. Telegram harus membuka kantor yang permanen di Indonesia, seperti halnyaYahoo, Facebook, dan Google. Apakah Telegram akan melakukannya, saat ini belum bisa diketahui.
Walaupun ancaman pemblokiran membuat Telegram bersedia menghapus konten yang dianggap radikal, hal tersebut sepertinya tidak akan terlalu memberikan dampak besar dalam upaya menghentikan terorisme, karena para kelompok radikal dikabarkan sudah mulai menggunakan aplikasi lain yang sistem keamanannnya lebih sulit ditembus.