Mungkin pandangan Anda akan berubah setelah membaca kisah sukses berikut ini. Dalam keterbatasan, para atlet penyandang cacat (difabel) ini bisa dikatakan melebihi manusia dengan fisik normal pada umumnya. Stephanie Handojo, David Jacob, dan Ni Nengah Widiasih adalah beberapa contoh atlet penyandang cacat yang berprestasi.
Stephanie Handojo, Atlet Renang Tunagrahita
Stephanie merupakan anak sulung dari 3 bersaudara, pasangan Santoso Handojo dan Maria Yustina Tjandrasari. Gadis kelahiran Surabaya, 5 November 1991 ini terlahir dengan down syndrome, yaitu kelainan genetik yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental.
Sejak berumur 2 tahun, Stephanie dikenalkan olahraga renang oleh kedua orang tuanya. Ini karena berenang sangat bagus untuk merangsang saraf motorik anak tunagrahita. Selain renang, ia juga menggemari olahraga bulutangkis.
Ternyata kegemaran Stephanie berolahraga tidak hanya berdampak pada kesehatan tubuhnya, tetapi ia berhasil menorehkan berbagai prestasi di bidang olahraga khususnya renang. Karirnya di olahraga dimulai sejak tahun 2005 ia berhasil menjuarai renang 50 meter gaya dada putri di PORCADA (Pekan Olahraga Cacat Daerah).
Tahun 2009, Stephanie kembali menyabet 2 emas di Singapore International Swimming Championship untuk nomor 50 meter gaya bebas dan 100 meter gaya dada. Puncak karir gadis yang mengalami kesulitan berbicara hingga usia 4 tahun tersebut adalah ia berhasil menyabet emas di Special Olympic Games 2011 di Athena.
Berkat bakat dan prestasinya Stephanie boleh bangga, dari 12 juta anak di dunia ia terpilih untuk membawakan obor Olimpiade London 2012 di kota Nottingham dengan menempuh jarak sejauh 300 meter. Tentunya kesempatan tersebut tidak ia sia-siakan begitu saja.
Stephanie merupakan inspirasi bagi siapa pun. Ia membuktikan bahwa mengalami keterbatasan bukan berarti tidak berprestasi. Ia pun berharap bahwa yang dilakukannya bisa menjadi motivasi bagi teman-teman yang senasib dengannya.
David Jacobs, Tuna Daksa yang Berprestasi
Atlet tenis meja difabel kelahiran Makassar yang bernama lengkap Dian David Michael Yakob ini lebih dikenal sebagai David Jacobs. Segudang prestasi di tenis meja sudah berhasil diraihnya di kelas internasional. Meskipun perjuangan pria kelahiran 21 Juni 1977 tak mudah.
Uniknya, David memulai karirnya di bidang tenis meja sebagai atlet normal, meski terterlahir dengan tangan kanan cacat. Berkat dukungan keluarga, ia tak patah semangat dan mulai menekuni tenis meja sebagai pemain kidal sejak usia 10 tahun bersama ketiga kakaknya yang juga gemar bermain tenis meja.
Dukungan keluarga dibuktikan dengan memasukkan David ke klub PTP Semarang selama dua tahun. Di Sekolah Dasar (SD), ia berhasil mengukir prestasi dengan menyabet juara pertama pertandingan tenis meja tingkat SD se-Jawa Tengah.
Menginjak SMP, ia dan keluarga hijrah ke Jakarta. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh David untuk menempa bakatnya. Meskipun bersaing dengan orang-orang normal dan sempat minder, David membuktikan bahwa ia mampu bermain dengan baik.
Perjalanan karier David di tenis meja kian menonjol sejak ia masuk Timnas Indonesia. Ia dikirim ke Sea Games Kuala Lumpur 2001, Sea Games Vietnam 2003, Sea Games Manila 2005, Sea Games Thailand 2007, dan Sea Games Laos 2009. Medali emas pun berhasil disabetnya di Kejuaraan Tenis Meja Asia Tenggara (SEATA) 2009 di Jakarta.
Di usia lebih dari 30 tahun, David yang keluar dari Timnas Indonesia memutuskan untuk pindah ke jalur olahraga khusus penyandang cacat, Paralympic Games. Debutnya sebagai atlet difabel dimulai dengan meraih medali perunggu di Guangzhou ASIAN Paragames 2010 dan berhasil meraih tujuh medali emas pada ASEAN Paragames 2011 di Solo.
Keberhasilan David di Slowakia membuatnya berada di peringkat tiga besar dunia. Di Paralympic Games 2012, London ia pun berhasil mempersembahkan mendali perunggu untuk Indonesia.
Ni Nengah Widiasih, Ukir Prestasi di Angkat Berat
Mengalami kelumpuhan karena penyakit polio pada usia 4 tahun tidak membuat Ni Nengah Widiasih berkecil hati. Sejak kecil, wanita kelahiran Karangasem, Bali yang akrab disapa Widi ini memang sangat menyukai olahraga.
Baginya, olahraga merupakan bagian yang paling mendasar dalam hidup untuk menjaga kesehatan dan meraih prestasi. Mengikuti jejak sang kakak yang menggemari angkat berat, ia pun mulai melakoni angkat berat sejak usia 13 tahun.
Kerja kerasnya menuai hasil saat ia berhasil menyabet emas dan memecahkan rekor nasional di Porcanas 2008 Samarinda. Sepak terjangnya sebagai atlet difabel dibuktikan dengan meraih mendali perunggu di Nakhon Ratchasima ASEAN Paragames 2008, mendali perak di Kuala Lumpur ASEAN Paragames 2009, dan mendali emas di Solo ASEAN Paragames 2011.
Tampil di Paralympic London 2012 merupakan hal yang berarti bagi Widi. Selain sebagai satu-satunya atlet putri Indonesia yang dikirim, tampil di ajang Paralympic juga merupakan impiannya sejak kecil. Meski ia belum dapat menyumbangkan mendali. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, semangat dan prestasi Widi patut dihargai.
Dengan segala keterbatasan, para penyandang cacat ini tetap semangat dan mengukir prestasi di bidang olahraga. Bagaimana dengan Anda?