Mungkin, kelak Anda tidak perlu lagi datang ke dokter jika ingin mendeteksi kanker kulit. Pasalnya, sebuah studi yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisa gambar kulit, menunjukkan bahwa smartphone mungkin akan dapat membantu manusia untuk mendeteksi kanker kulit.
Studi yang dipublikasikan dalam Nature ini bermula dari jaringan pengenalan gambar yang disediakan oleh Google. Dimana, jaringan tersebut telah dilatih untuk mengenali objek pada gambar. Sebastian Thrun, profesor Stanford sekaligus mantan eksekutif Google merupakan pemimpin dari studi ini.
Para peneliti menunjukkan ribuan gambar medis. Lebih tepatnya, 129.450 gambar dari Stanford University Medical Centre dan 18 tempat penyimpanan open-source. Gambar itu diberi label agar AI dapat mengenali apa yang ia lihat.
Setelah melihat ratusan gambar dari luka yang spesifik pada kulit, AI mulai memahami persamaan antara gambar-gambar tersebut. Seperti dilansir dari Quartz, algoritma mulai belajar untuk membedakan luka dan kulit yang sehat, berdasarkan pada parameter seperti warna dan kontras.
Semakin AI melihat banyak gambar, maka semakin akurat ia mengenali jenis luka seperti luka biasa, luka berbahaya atau non-neoplastik, yang bisa merupakan peradangan. Dengan teknologi ini, semua orang di dunia akan bisa memanfaatkan deteksi kanker kulit. Tentunya dengan harga terjangkau.
Ketika dibandingkan dengan ahli kulit untuk menentukan apakah sebuah luka berbahaya, non-neoplastik atau luka biasa, AI ini memiliki tingkat kesuksesan 71 persen. Sementara, ahli kulit hanya memiliki tingkat kesuksesan 66 dan 65 persen. Secara keseluruhan, AI ini berhasil memberikan performa yang lebih baik dari kebanyakan dokter.
Sebagai catatan, laporan studi ini tidak membahas tentang beragam jenis kulit. Selain itu, semua gambar yang ditunjukkan menampilkan orang-orang dengan kulit cerah. Selama ini, kulit gelap biasanya membuat AI kebingungan.
Hingga para peneliti melatih AI untuk mengerti contoh luka pada orang-orang berkulit berwarna, algoritma ini hanya akan berguna untuk sebagian populasi dunia. Saat ini, algoritma ciptaan tim Stanford ini hanya bekerja di komputer. Namun, mereka tertarik untuk membuat aplikasi smartphone.
“Semua orang akan punya superkomputer di kantong mereka dengan berbagai sensor, termasuk kamera,” ujar Andre Esteva, Co-Lead Author dari laporan ini kepada Stanford News Service. Kemudian ia menambahkan, bagaimana jika ini bisa digunakan untuk mendeteksi kanker kulit atau penyakit lain?
Kamera Smartphone Bisa untuk Deteksi Awal Kanker Kulit Melanoma
Ternyata, teknologi kamera smartphone bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi awal kanker kulit melanoma. Dalam blog IBM Research, Dr. Noel Codella mengurai bagaimana cara mengidentifikasi melanoma melalui analisis citra atau foto.
Metodenya bisa dibilang sederhana, karena bisa didiagnosis di mana pun melalui smartphone. Caranya adalah mengambil foto lesi dan foto tersebut tinggal dikirim ke layanan analisis, yang kemudian diidentifikasi karakter serta gejala kanker kulit melanoma yang muncul.
Selain itu, uji analisisnya juga berbasis aplikasi mandiri yang diprogram dengan teknologi mumpuni. Meski tingkat akurasi deteksi dini ini tidak 100 persen, namun presentasenya cukup besar, yakni sekitar 93 persen.
Terdapat dua faktor yang menentukan keberhasilan metode ini. Pertama adalah penggunaan Dermascopes, yang merupakan sebuah perangkat yang dapat dilampirkan ke kamera smartphone untuk mengoptimalkan foto lesi untuk dianalisis.
Lalu, faktor kedua adalah pengembangan database yang berisi bintik pada kulit yang jadi gejala awal kanker kulit. Database ini menggunakan komputer dan sistem komputasi dari IBM yang kian dikembangkan secara konsisten untuk mengidentifikasi melanoma.
Sistem ini dibangun melalui kemitraan dengan Memorial Sloan-Kettering Cancer Center dan International Skin Imaging Collaboration (ISIC). Kini, teknologi tersebut telah dikembangkan dan konon tiga kali lebih efektif dari metode cek lesi klasik.
Rencananya, tim IBM akan menerbitkan laporan proyek ini pada 2017 dan nantinya dapat diakses secara online. Namun, belum dapat dipastikan kapan layanan ini bisa digunakan oleh masyarakat luas.