Anda pasti pernah sakit saat liburan, dan untuk mengantisipasinya, saat liburan selanjutanya, Anda membawa satu kotak besar penuh dengan obat, inhaler, koyo, balsem, dan beberapa keperluan pribadi lainnya seperti deodoran dan permen pelega tenggorokan. Mungkin Anda malas membawa semua barang tersebut, karena berpikir space yang ada di dalam koper lebih baik disisakan untuk bawa oleh-oleh.
Nampaknya hal itu juga terpikirkan oleh mahasiswa Stanford yang berpikir untuk membawakan Anda tissue, beberapa obat, dan permen pelega tenggorokan dalam sebuah tas punggung yang ringkas. Mereka menyebutnya Jetpack.
Seperti dilansir dari TechCrunch, Minggu, 05 Maret 2017, paket Jetpack telah diluncurkan di kampus Stanford di California, Amerika Serikat baru-baru ini.
“Jetpack ini bukan diperuntukkan untuk melengkapi stok keperluan pribadi di rumah, namun lebih kepada jika seseorang membutuhkan semuanya dalam jumlah kecil saja,” kata pendiri dan CEO Jetpack Fatma Dicko.
Jetpack terdiri atas kebutuhan sehari-hari kita yang bisa dimanfaatkan ketika terdesak. Tas punggung berisi berbagai produk dalam ukuran sampel ini terdiri atas 15 jenis yang isinya berbeda-beda, dan setiap satu tasnya dihargai satu hingga lima dolar (antara Rp13ribu hingga Rp60 ribu). Saat ini, sudah ada 1oo mahasiswa yang memiliki tas Jetpack, yang siap menyuplai mereka dengan berbagai produk, seperti deodoran, minuman berenergi, obat flu, hingga obat mabuk.
Jetpack menyediakan lai barang-barang keperluan penggunanya dalam ukuran sampel. Begitu orang membutuhkannya, barang tersebut akan dikirimkan. Para Jetpackers, mereka yang mendistribusikan Jetpack, menerima upah standar per minggu untuk penjualan produk-produknya. Mereka turun ke jalan dan menawarkan Jetpack themed kits kepada orang-orang seharga lima hingga sepuluh dolar.
“Kami ingin memahami produk-produk apa yang mendapat tanggapan bagus dan mengkurasinya,” kata Dicko yang merupakan mahasiswa pascasarjana di Stanford University.
Masyarakat yang tinggal di AS bisa menikmati produk yang sama dengan beberapa jasa seperti Postmates. Namun menurut Dicko, Postmates tidak memberi keuntungan secara “skala ekonomi untuk pengiriman ekstra cepat.” Namun Jetpack bisa mendapatkan keuntungan, karena perusahaan tersebut telah membekali para kurir mereka dengan produk-produk yang diperlukan, khususnya di daerah padat penduduk.
Jetpack merupakan turunan dari startup pertama yang didirikan Dicko, sebuah box subscription startup bernama MyBestBox. Melalui perusahaan yang sebelumnya, Dicko menjalin hubungan dengan perusahaan produsen kebutuhan sehari-hari alias consumer packaged goods, dan hingga saat ini berhasil bekerjasama dengan 25 perusahaan tersebut untuk mendukung operasional Jetpack. Dicko sebelumnya menerima pendanaan sebesar $130.000 (sekitar Rp1,7 milyar), dan kini mulai mencari pendanaan untuk startup barunya.
Tahun depan, prioritas Jetpack adalah meluncurkan produknya di kampus Universitas Cornell dan Harvard. Selain itu, Dicko juga menargetkan untuk memiliki “pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi antar manusia, dan memahami bagaimana membantu orang lain mengatasi masalah sehari-harinnya melalui apa yang disebut psychological gap.”
Sebagai contoh, “jika seseorang membutuhkan deodoran untuk menyegarkan diri, sesungguhnya kebutuhannya bukan hanya deodoran, namun juga berhubungan dengan psychological gap terkait perasaan nyaman.”
Menurut Anda, kalau konsep bisnis yang sama diterapkan di Indonesia, apakah akan berhasil? Mengingat Indonesia selalu ramai dikunjungi turis dan pendatang yang menghabiskan waktu singkat di negara ini.