Keajaiban memang selalu ada. Seperti yang terjadi pada seorang anak dari Afrika Selatan berusia 9 tahun. Sejak lahir, ia dinyatakan positif menderita salah satu penyakit mematikan di dunia, HIV. Namun ajaibnya, ia bisa bertahan hidup dan mengendalikan virus dalam kondisi tidak terdeteksi, meski sudah bertahun-tahun tidak mengonsumsi anti retroviral (ARV).
Hal ini pun menjadi perbincangan dalam International AIDS Conference ke 9 yang diadakan di Paris, Perancis. Para ilmuwan yang mengikuti konferensi itu mengatakan, kasus pada anak yang identitasnya dirahasiakan itu merupakan pertama kalinya di Afrika dan ketiga di dunia.
“Ini sangat langka,” kata Avy Violari, Kepala Unit Penelitian HIV Parilahir di University of Witwatersrand di Afrika Selatan, sebagaimana dilansir dari laman CNN.
Setelah 9 tahun yang lalu sang anak lahir dengan status HIV positif, Violari dan timnya kemudian memberikan perawatan anti-retroviral segera setelah lahir hingga 40 minggu.
Setelah 8,5 tahun menghentikan pemberian ARV, Violari melakukan viral load pada sang anak akhir 2015 lalu. Hasilnya, virus tetap tidak terdeteksi. Status virus yang tidak terdeteksi menunjukkan bahwa tubuh sang anak bisa mengontrol pertumbuhan virus.
Pada 99 persen orang yang mengidap HIV, jumlah virus akan meningkat kembali jika tidak mengonsumsi ARV. Orang yang bisa mengontrolnya hanyalah orang yang secara genetik resisten terhadap HIV.
Namun dalam kasus ini, anak tersebut tidak termasuk dalam golongan orang yang memiliki ‘bakat’ genetik melawan HIV, sehingga kasusnya menarik. Violari menilai, kasus langka ini memberi harapan. “Dengan mempelajarinya, kami berharap bisa menemukan cara menghentikan perawatan,” katanya.
Terapi ARV perlambat perkembangan HIV
Sejak 2005 hingga 2011, pakar HIV dunia melakukan proyek riset Children with HIV Early Antiretroviral Therapy (CHER). Dalam proyek tersebut, para ilmuwan memberikan perawatan ARV segera pada 370 bayi yang terinfeksi HIV. Terapi ARV berlangsung selama 40-96 minggu.
Data mengungkap, terapi ARV segera berhasil mengurangi angka kematian hingga 76 persen dan mencegah perkembangan penyakit hingga 75 persen.
Lalu, bagaimanakah cara kerja ARV? ARV bekerja dengan mengontrol proses replikasi dari HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan membuat salinan palsu dari DNA. Hal itu membuat HIV tampak seperti bagian normal dari tubuh yang tidak mengancam, sehingga sistem kekebalan tubuh tidak bisa mendeteksi virus dan keberadaan HIV dalam tubuh tetap aman.
Untuk mendapatkan manfaat ARV, pengidap HIV harus mengonsumsi obat seumur hidup. Sebab, jika tidak, pertumbuhan virus di tubuh tidak terkontrol dan bisa juga muncul resistensi terhadap obat.
Sebelum mengonsumsi ARV, penderita harus terlebih dulu berkonsultasi pada dokter. Pasien yang akan menggunakan ARV juga harus memiliki orang yang bisa mengingatkan untuk selalu minum obat atau biasa disebut Pemantau Meminum Obat (PMO). Di Indonesia, hal tersebut sudah diatur oleh Kementerian Kesehatan.
Orang yang bisa mengonsumsi ARV adalah penderita HIV dewasa dan anak usia 5 tahun ke atas yang sudah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4, atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3. Selain itu, ibu hamil dengan HIV, bayi lahir dari ibu dengan HIV, penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 tahun, dan penderita HIV dengan tuberkulosis, juga bisa mengonsumsi ARV.
ARV juga bisa dikonsumsi oleh penderita HIV dengan hepatitis B dan hepatitis C, penderita HIV pada populasi kunci, penderita HIV yang pasangannya negatif; dan/atau, penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.