Bentuknya seperti ulegan cabe, berwarna pink dan bergetar, Vibease namanya. Saya tertawa geli ketika menerima benda “kontroversial” ini dari tangan Dema Tio, sang pendiri. Saya belum pernah melihat benda bernama vibrator secara langsung, apalagi memegangnya. “Getarannya bisa diatur lewat internet, Bro”, ujar Dema kepada saya. Saya masih saja tersenyum geli ditemani cahaya remang di sebuah klub di daerah SCBD.
Catatan: Jika Anda masih belum familiar dengan vibrator yang mana yang saya maksud. Silahkan baca penjelasannya di sini.
Saya bisa mengerti jika vibrator masih menjadi topik yang kontroversial di Indonesia. Sebagian mungkin akan menilai tabu, sebagian menilai biasa saja, sebagian lagi mungkin menilai ini sesuatu yang layak dipromosikan selama hanya kepada pasangan resmi. Tapi saya akan membahasnya dari sisi teknologi dan bisnis saja.
Ide Awal
“Gue tinggal di Boston (Amerika), pasangan gue di Singapura. Jadi pastinya urusan intimacy terhambat. Inilah gunanya alat bantu ini.” ungkap Dema mengenai asal usul ide alat ini. Dema melanjutkan, dengan Vibease, getaran alat ini mampu dikontrol melalui aplikasi mobile, baik Android maupun iOS. Dema yang berada di Boston, mampu mengontrol alat ini ketika digunakan oleh pasangannya yang berada di Singapura. Tentunya di Singapura alat ini juga terkoneksi dengan aplikasi mobile yang digunakan pasangannya. Dengan begitu pengalaman intimasinya akan lebih nyata, tambah pria lulusan Binus ini.
Tidak hanya untuk yang berpasangan. Alat ini bisa juga digunakan oleh mereka yang single. Vibease menyediakan Fantasy Store di websitenya. Di sini tersedia beberapa koleksi audio. Ehm, audio erotisme tentunya, tapi bukan porno ya! Audio ini nantinya bisa didengarkan menggunakan aplikasi mobile Vibease. Getaran alat ini akan otomatis menyesuaikan dengan cerita atau suara dari audio yang didengarkan tersebut.
Dengan kemampuan seperti itu, maka bisa dipastikan bahwa produknya ini masuk dalam kategori IoT (Internet of Things). Karena itu tidak salah jika benda ini disebut Smart Vibrator. Selain itu, alat bantu ini juga masuk kategori “wearable”, alias bisa dikenakan. Dengan desain bentuknya yang khusus, benda ini akan berada tetap pada posisinya cukup dengan diselipkan pada pakaian dalam. Menurut Dema, walaupun sudah mulai bermunculan produk sejenis di pasaran, Vibease merupakan yang pertama di dunia.
Bahasa Antarmuka
Website Vibease sendiri sepenuhnya menggunakan antarmuka bahasa Inggris. Pilihan menggunakan Bahasa Inggris tentunya bukan cuma untuk keren-kerenan, tapi memang untuk menyesuaikan dengan target marketnya yaitu negara-negara Barat. Jadi bukan seperti startup lain di Indonesia. Ada saja “startup karya anak bangsa” yang target marketnya sepenuhnya Indonesia, tapi keseluruhan antarmuka aplikasi dan websitenya menggunakan bahasa Inggris. Entah apa tujuannya.
Para Pendiri
Dema tidak bekerja sendiri tentunya. Ia dibantu oleh Steven Kik sebagai co-founder. Keduanya memiliki latar belakang yang mirip. Dema dan Steven sama-sama berpengalaman secara profesional sebagai software engineer. Dema sempat menjadi software engineer di Acadian Asset Management (Boston, AS). Sedangkan Steven sempat berkarir sebagai software engineer di Singapore Telecommunication. Khusus Dema, sejak kecil dia memang hobi ngoprek hardware. Walaupun tentu saja sewaktu di masa kecilnya tidak semua kegiatan opreknya sukses. Namanya juga anak-anak.
Pengembangan produk ini tidaklah sebentar. Setidaknya mereka sudah memulainya sejak tahun 2011. Pada tahun 2012 mereka juga sempat melakukan penggalangan dana melalui Indiegogo. Mereka yang membeli produk ini di Indiegogo bisa mendapatkannya dengan harga $69.
Di tahun 2013 mereka juga sempat mengikuti program inkubator untuk hardware startup di China. Program ini bernama HAXLR8R dan berlangsung selama 111 hari.
Saat ini investor Vibease yang tercatat secara publik adalah Quest Ventures. Tersirat dari obrolan dengan Dema, mereka masih mencari investor baru lagi. Walaupun produk mereka sebenarnya sudah cukup laris di Amerika.
“Kalau sekarang sih belinya harus dari website. Gue masih dalam proses urus impornya. Panjanglah prosesnya,” ujar Dema ketika saya menanyakan bagaimana jika orang dari Indonesia mau membeli produk ini. Wajar saja, mengingat kategori produk ini mungkin belum bisa diterima secara luas di masyarakat Indonesia.
Saya teringat berita tentang Presiden Jokowi yang membawa beberapa pentolan startup Indonesia dalam rombongan kunjungannya ke Sillicon Valley beberapa waktu lalu. Juga teringat berita tentang Menpora yang sempat berencana memotong gaji PNS demi bisa mensponsori Rio Haryanto berlaga di balap F1. Keduanya tentu didasari akan kebanggaan atas prestasi anak bangsa ini. Jika Vibease nantinya meledak di pasaran dunia, atau paling tidak di Amerika, tentunya itu merupakan suatu prestasi anak bangsa juga. Lalu apakah pemerintah akan ikut menyambut dengan bangga Vibease ini? Atau paling tidak Kominfo tidak serta merta memblokir situsnya -seperti yang sering dilakukannya.