Sebagian besar perempuan tentu biasa mengalami gejala premenstrual syndrome atau PMS. Gejalanya bisa berupa perut terasa kembung, kram, suasana hati tidak menentu, gampang lelah, dan masih banyak lagi. Dalam beberapa kasus, bahkan gejala PMS ada yang begitu ekstrem hingga menimbulkan depresi.
Salah satu contoh kasusnya adalah gejala PMS yang dialami oleh Amanda LaFleur (37). Ibu dua anak ini menderita gejala PMS parah sejak pertama kali menstruasi di usia 13 tahun. Setiap masa menstruasinya hampir tiba, ia mengalami depresi, kecemasan, bahkan dorongan untuk bunuh diri. LaFleur juga menderita misophonia, yaitu sensitivitas ekstrem terhadap suara yang dapat memicu kecemasan, kekesalan dan kemarahan.
Dilansir dari Huffington Post, ia mengatakan bahwa dirinya mengalami kesulitan jika ingin pergi ke toko.”Saya tidak tahan dengan suara-suara di sekeliling atau pandangan siapa pun yang melihat saya. Di waktu-waktu terburuk, saya sampai mengunci diri di dalam lemari. Karena saya tidak tahan dengan suara anak-anak atau siapa pun yang berbicara pada saya,” kata LaFleur.
Dokter mendiagnosis LaFleur dengan premenstrual dysphoric disorder atau PMDD, yaitu bentuk ekstrem dari PMS dengan gejala-gejala ekstrem yang dapat memicu depresi. Diperkirakan, sekitar dua hingga lima persen perempuan yang menstruasi menderita PMDD.
Untuk menyembuhkan kondisi ini, dokter keluarga LaFleur mencoba segala bentuk pengobatan, mulai dari pil KB, obat pereda kecemasan, obat antipsikotik , hingga obat untuk gangguan bipolar. Namun, semuanya tidak membuahkan hasil.
Penderita PMDD Memiliki Sensitivitas Berbeda
Lalu, mengapa obat-obatan itu tidak bekerja dalam kasus LaFleur? Baru-baru ini, penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Psychiatry menemukan jawabannya. Dalam studi tersebut, para peneliti telah mengidentifikasi ketidakteraturan spesifik di gen-gen perempuan dengan PMDD. Perbedaan pada tingkat molekuler ini dapat menjelaskan mengapa gejala-gejala yang mereka alami bisa begitu parah.
Peter Schmidt, salah satu penulis studi yang juga kepala cabang Perilaku Endokrinologi di National Institute of Mental Health, mengatakan bahwa studi sebelumnya sudah menemukan penderita PMDD memiliki sensitivitas berbeda terhadap hormon seks yang mereka lepaskan ketika menstruasi. “Para ahli menduga, itulah yang menyebabkan gejala menjadi lebih parah,” katanya.
Dalam studi ini, Schmidt dan timnya membandingkan 10 perempuan yang didiagnosis dengan PMDD dan 9 dengan siklus menstruasi normal tanpa PMDD. Perempuan dengan PMDD diberi obat untuk memblokir pelepasan hormon seks yang biasa luruh saat menstruasi, yakni estradiol atau progesteron.
Hasilnya, mereka tidak mengalami gejala parah yang biasa terjadi saat mereka menstruasi. Namun, gejala tersebut kembali terjadi ketika para penderita PMDD terpapar hormon estradiol dan progesteron. Hasil penelitian ini memperkuat temuan pada studi sebelumnya.
Ketika para peneliti mempelajari sel-sel para partisipan di laboratorium, jaringan gen spesifik yang berperan memberikan reaksi terhadap hormon di dalam sel-sel penderita PMDD ternyata berbeda dengan perempuan yang mengalami gejala PMS biasa.
Untuk memastikan temuan ini, para peneliti menganalisis urutan gen pada kelompok yang lebih besar, yaitu 34 perempuan dengan PMDD dan 30 perempuan normal. Hasil analisis mengungkap, penderita PMDD di kelompok yang lebih besar juga mengalami perubahan pada jaringan genetik serupa.
Peter Schmidt mengatakan, ini merupakan bukti pertama bahwa perbedaan sensitivitas hormon pada pasien PMDD didasarkan pada perbedaan biologis yang terjadi pada tingkat sel.
Meskipun penelitian ini dalam waktu dekat tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh perempuan yang menderita PMDD, akan tetap temuan ini merupakan langkah penting dalam upaya merancang pengobatan baru untuk mereka.
Menurut Peter Schmidt, dengan pemahaman yang lebih baik mengenai penyebab PMDD dan perbedaannya dengan PMS, maka itu dapat membantu para peneliti untuk merancang obat serta terapi yang lebih baik bagi pasien PMDD.